“Dari STAIL, Saya Banyak Mendapatkan ‘Bekal’ Hidup”
Sahabat yang budiman. Kali ini, saya akan sedikit berkisah tentang pribadi, yang mendapatkan nikmat Allah untuk melanjutkan studi di tingkat Perguruan Tinggi di Surabaya.
Saya terlahir dari keluarga sederhana. Keluarga saya berprofesi petani. Hari-hari disibukkan dengan bercocok tanam.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di Surabaya, saya bingung. Bahkan bahkan boleh dikata, super bingung. Membayangkan, seorang anak petani bisa kuliah di kota Pahlawan. Kota metropolitan kedua setelah Jakarta. Padahal sebelumnya, saya tidak pernah punya niat kuliah di Surabaya. Ketika lulus SMA Luqman Al Hakim, Banda Aceh, saya berniat masuk kuliah di Medan, Tanjung Merawa. Opsi kedua, saya ingin menjadi Aparat Angkatan Darat ( TNI AD).
Ketika selesai dari bangku SMA, saya meminta masukan dari salah satu ustadz. Ustadz Abdul Haris. Beliau salah satu guru favorit saya yang mengampu mata pelajaran bahasa Arab dan Inggris ketika itu.
Saya lalu disarankan untuk melanjutkan studi di kampus STAI Luqman Al Hakim, Surabaya. lantas saya bingung bagaimana bisa anak petani kuliah di kota ini.
“Sesuatu yang kita niatkan dengan ikhlas dan keinginan yg kuat, Insya Allah akan diberi jalan untuk mereka yang ikhlas,” nasehat beliau.
Selepas diberi nasehat demikian, saya langsung menelpon orang tua, dan mengatakan, bahwa saya ingin kuliah di Surabaya. Alhamdulillah, di luar dugaan saya, ternyata, mereka juga mendukung
Tanpa berpikir panjang, saya balik ke kampung halaman. Ketika itu, saya masih di Banda Aceh. Selang berapa hari sampai di rumah, saya langsung bersilaturahmi ke cabang Hidayatullah Aceh Tenggara,
Nama Pimpinan Hidayatullah Aceh Tenggara, ustadz Baharuddin Mustafa. Beliau juga salah satu jebolan santri Balikpapan,dan juga salah satu Alumni STAI Luqman Al Hakim, Surabaya.
Setibanya di pondok, saya langsung berbincang – bincang dengan beliau tentang syarat dan ketentuan yang harus saya siapkan. Semua keterangan beliau saya catat agar tidak ada yang terlupa. Selesai, bergegas saya langsung pesan tiket pesawat. Waktu itu harga tiket 1,3 jt, kami berangkat bertiga dengan teman yang juga memiliki niatan dan tujuan yang sama. Saya; Ahmad Bin Sumardi, Sukri’e Andi’e, dan Ilham Hanan Dzulhilmi.
Kami berangkat malam. Jarak dari kampung saya dengan bandara Kualanamu memakan waktu sekitar 5-6 jam, sesampai di Bandara, saya bingung bin panik. Betapa tidak ini, pertama kalinya saya naik pesawat, akhirnya kami diarahkan menuju tempat check in.
Singkat cerita. Kami tiba di Surabaya pukul 11.00 Wib, kami dijemput salah satu kakak kelas dari Aceh, yang kuliah di tempat yang sama. Tujuan kami, langsung ke arah pondok atau kampus STAIL Surabaya. Sesampainya di kampus, jujur seketika itu juga saya dibuat taajub oleh bangunan kampus yang menurut saya sangat megah.
Bangunannya terdiri 4 lantai. Tapi bagi saya, itu sudah tinggi sekali. Singkat cerita saya tes, dan Alhamdulillah lulus. Teryata, saya bukan tinggal di kampus utama (Surabaya). Tapi harus tinggal di kampus II, Panceng, Gresik. Program tinggal di sana sekitaran dua semester. Setelah itu, baru ke Surabaya.
Panceng salah satu kecamatan Gresik, bagian utara. Kampus terletak di balik bukit kapur. Orang menyebutnya; Gunung Kukusan. Setibanya di kampus dua, saya heran dengan keadaan alam, yang berupa hutan jati lagi gersang. Air susah. Mendadak perasaan mulai bercampur aduk.
“Kok saya mau kuliah, malah ditempatkan di hutan seperti ini, ya?!” saya membatin.
Setibanya di asrama, kami beres-beres barang, dan sholat dzuhur berjamaah. Selesai sholat, ada tausiyah dari ustad Damanhuri Kh, selaku pimpinan Hidayatullah Kampus. Beliau menyambut kedatangan kami.
“Ahlan wasahlan di kampus II STAIL.Anggap ini kampung kalian,” ucao beliau.
Saya belum fokus saat itu. Pikiran saya masih berkutat membayangkan masa depan, dengan kondisi tempat panas gersang, dan bebatuan itu. Uniknya, saat itu ustadz daman tidak menuntut kami harus betahan. Melainkan, ucap beliau, alam lah yang nanti akan ‘memberi tahu’ bahwa setiap individu harus betah.
Seditik itu pula saya bermunajat dalam hati kepada Allah; “Ya Allah, jika ini yang terbaik, betahkan saya tinggal di sini.”
Selayang Pandang
Di hutan ini lah saya belajar banyak tentang kehidupan. Hari-hari kami disibukan dengan pekerjaan yang positif, dimana kami digembleng dan diasah sebagai pemimpin yang memiliki bekal dalam bersosial, terkhusus untuk memimpin diri sendiri.
Dulu saya anggap kesalahan, karena ditempatkan di hutan. Nyatanya tidak. Malah sebaliknya, sangat menyenangkan. Hidup memang penuh keunikan. Terkadang sesuatu yang kita anggap salah, justru sebenarnya shohih.
Demikian sekelumit perjalanan awal saya memasuki dunia perkuliahan. Dan sebagai sebuah awal dari perjalanan, yang saya sampaikan ini hanyalah pucuk dari gunung es yang tampak di tengah lautan.
Masih ada begitu banyak lika-liku kisah, yang Insy Allah akan saya coba tuliskan di kesempatan lain, sebagai wahana berbagi sekelumit inspirasi, dan wadah belajar menyampaikan dengan tulisan (dakwah bil qolam).
*Dikisahkan oleh Ahmad Bin Sumardi, alumni STAIL 2021