Berdoa Menjadi Penghafal al-Qur’an, Diganjar Allah dengan Sesuatu di Luar Dugaan
Oleh: Amalia Salim*
Ulasan bab muqoddimah kitab Fi Zhilalil Qur’an, karya syekh Sayyid Quthb, membuatku tertegun. Kupasannya menjelaskan tentang nikmat hidup di bawah naungan al-Qur’an.
“Hidup di bawah naungan Al-Qur’an adalah suatu nikmat. Nikmat yang tidak dimengerti kecuali oleh yang merasakannya. Nikmat yang mengangkat harkat usia manusia menjadikannya diberkahi, dan menyucikannya.”
Kuulangi lagi membacanya. Kali ini, lebih perlahan agar kupahami benar maknanya.
“… nikmat yang tidak dimengerti kecuali oleh yang merasakannya …”
Kalimat itu sungguh menyentakku. Jujur, selama ini Aku tidak pernah merasakannya! Hatiku berteriak, memberontak.
Detik itu kusadari, aku belum pernah benar-benar merasakan nikmatnya hidup di bawah naungan Al-Qur’an.
Al-Qur’an selama ini ternyata baru saja ada di lidahku, bukan di hatiku. Baru kugenggam fisiknya di kedua tanganku, belum menjadi pedoman dalam setiap langkah hidupku.
Air mataku menitik perlahan. Hatiku menjerit. “Allah… ampuni aku. Sempatkan aku bertaubat. Sempatkan aku merasakan kenikmatan hidup di bawah naungan AL-Qur’an…”
Kurang lebih tiga bulan kupanjatkan doa-doa. Pagi, siang, malam.. kuadukan semua keluh kesahku kepada-Nya. Kudekatkan jarakku pada-Nya. Kuakui semua kelalaianku selama ini. Aku terus mengemis ampunan-Nya. Memohon petunjuk-Nya.
Pelan-pelan, hidayah itu datang. Tidak perlu menunggu-nunggu lagi. Hidayah yang datang harus kupegang kuat. Aku kembali mendatangi guru tahfidzku dan menyampaikan keinginanku untuk belajar Al-Qur’an dari nol lagi.
Aku bergabung di sebuah halaqoh (kelompok).
Sepekan sekali, aku dan teman-teman belajar memperbaiki bacaan kami, sekaligus menghafalkannya bersama Ustadzah.
Awalnya, jumlah pesertanya banyak. Namun, satu per satu berkurang, beralasan ini dan itu, lalu tidak pernah datang lagi ke halaqoh.
Akhirnya, tersisa empat peserta, termasuk Aku. Itu pun kami tidak selalu datang lengkap berempat. Kadang-kadang hanya berdua, kadang-kadang malah hanya sendiri. Kondisi itu membuatku down, tidak bersemangat lagi untuk melanjutkan menghafal Al-Qur’an. Rasanya malas datang ke halaqoh yang sepi ini. Ingin rasanya aku mengarang seribu alasan untuk tidak datang. Untuk apa datang lagi kesana? Teman-temanku saja sudah tidak pernah datang lagi.
Kesyukuran tiada tara, Aku memiliki ustadzah yang tulus lagi kerap memberi motivasi kepada murid-muridnya. Ia sama sekali tak peduli seberapa jumlah peserta yang datang. Semangat beliau mengajar sama sekali tak berkurang.
“Luruskan niat, ukhti” ujar ustadzahku memotivasi. “Niatkan hanya karena Allah,” ujarnya.
Aku menunduk. Pelan, kuhela nafas berat.
Astaghfirullah’adziim.. Astaghfirullah’adziim..
“Semakin berat jalan yang harus ditempuh, semakin indah pula yang akan kita dapatkan di ujung sana,” tambah beliau membesarkan hatiku.
Kuikuti saran ustadzahku. Kucoba melawan rasa malas dan bosan dengan memperbanyak istighfar.
Malam itu, usai shalat tahajud, aku bersimpuh di atas sajadah, menunduk pasrah di hadapan-Nya. Beristghfar dan beristighfar, entah berapa ratus atau bahkan berapa ribu kali. Aku malu, karena kerdilnya jiwaku yang tidak tahan berproses. Padahal, Allah menjanjikan hadiah yang luar biasa indahnya di ujung perjalanan ini.
Seketika itu tiba-tiba seperti terlewat di dalam pikiranku sebuah hadis yang entah aku mendengarnya dari mana.
“Al-Qur’an akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu, bertanya kepada penghafalnya,”kamu kenal aku? Akulah yang membuat kamu tidak tidur pada malam hari, yang membuat kamu kehausan pada siang harimu…” Kemudian, diletakkan mahkota kehormatan di kepalannya dan kedua orang tuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu, orang tuanya bertanya,”Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” Kemudian, dijawab, ”Karena anakmu belajar Al-Qur’an.”
“Ya Allah, Ya Rahman Ya Rahiim.. ampunilah hamba.”
Ampunilah ketidaksabaran hamba. Ampunilah hamba yang lemah dan selalu tergesa-gesa ini, Ya Rabb Istiqomahkan hamba ini untuk selalu membaca Al-Qur’an…”
Wajah kedua orang tuaku terbayang di mataku. Kerut di wajah sepuh mereka tampak jelas malam itu dalam sujud panjangku. Senyum tulus mereka penuh kasih.
Allah telah merencanakan hal yang baik untukku. Tidak membutuhkan waktu yang lama, Allah hadirkan pendamping hidupku. Yang sangat ku syukur, bahwa dia adalah orang yang juga menghafal Al-Qur’an. “Ma sya Allah. Inikah cara Allah agar aku bisa istiqomah membaca dan menghafal Al-Qur’an??”
Setelah menikah, Aku harus berpindah ke Kota Madinah Al-Munawwaroh, karena mengikuti suami yang masih harus melanjutkan studinya di sana. Ma Sya Allah, entah skenario hidup seperti apa yang sedang aku jalani saat ini, begitu indah begitu luar biasa. Tidak pernah sama sekali terlintas dalam pikiranku untuk bisa tinggal di kota suci ini.
Aku menjalani kehidupan yang baru di sana, banyak sekali tempat-tempat istimewa yang selama ini hanya kuketahui dari buku dan internet kini aku bediri di sana.
Begitu bahagia dan tak henti-hentinya aku bersyukur, saat aku bisa melaksanakan ibadah haji bersama suamiku. Doa-doa baik tak pernah terlepas dari bibirku selama berada di sana, aku meyakini doa. Aku meyakini setiap doa-doaku. Aku memberikan ruh dalam doaku, menyakini bahwa Allah mendengar dan memperhatikan aku saat aku berdoa kepadaNya.
Saat itu aku mulai memahami arti dari “Hidup di bawah naungan Al-Qur’an adalah suatu nikmat. Nikmat yang tidak dimengerti kecuali oleh yang merasakannya. Nikmat yang mengangkat harkat usia manusia menjadikannya diberkahi, dan menyucikannya.”
Ketika harapan sudah kita panjatkan lewat doa, maka pengabulannya adalah sebuah kepastian, terkadang dalam bentuk yang sesuai dengan keinginan kita atau dalam bentuk yang jauh lebih baik yang sering kali baru kita fahami seiring waktu yang berjalan.
Bukalah hati, betapa banyak nikamat Allah yang hadir tanpa kita minta, betapa banyak bala musibah yang tidak jadi menimpa tanpa sepengathuan kita, jagalah baik sangka agar kita bisa menemukan rasa bahagia.
*Mahasiswi semester III STAIL, Surabaya, Prodi: MPI.
Tag:STAIL Surabaya