Kisah Di Balik Kesuksesan Alumni STAIL Dalam Menulis Buku

Tidak sedikit orang berkesimpulan, kalau menulis itu sulit. Apalagi bagi pemula. Benarkah? Kata Syaiful Anshor, penulis buku ‘Sahabat Antar Aku ke Surga,’ mudah-sulit dalam menulis itu, tergantung dengan persepsi yang dibangun.
“Menurut saya, menulis itu bisa menjadi mudah kalau kita menganggapnya mudah. Sesuai mindset kita. Menulis tak ubah berbicara. Hanya wasilahnya saja berbeda. Bukan dengan lisan. Tapi komputer. Jadi, saat mengetik, anggap saja tengah berbicara,” ungkapnya.
Hal lain yang harus terus diperbaharui, agar motivasi menulis terus terjaga, lanjut alumni STAI Luqman al-Hakim ini, ialah menjaga niat. Sebab niat dan semangat itu memiliki korelasi yang sangat kuat.
“Seorang penulis yang memiliki motivasi tinggi dalam menulis, serta niat yang lurus karena Allah sebagai media dakwah dan berbagi, saya yakin energi menulis tidak akan habis. Selalu ada saja ide dan suasana batin akan selalu tenang dan kondusif,” papar penulis asal Palembang ini.
‘Ritual’ lain yang harus dijalankan seorang penulis agar mampu melahirkan tulisan yang ‘renyah’ dan nikmat dibaca oleh para pembaca, ialah rajin membaca. Good writer is a good reader. Bacaan buku yang bergizi dan bagus secara tidak langsug bisa memengaruhi tulisan kita dan diksi pun bisa lebih berwarna. Tidak menoton.
“Yakinlah bahwa dengan banyak membaca dan berlatih menulis tulisan kita bisa lebih bagus,” terangnya.
Bukan Ujug-Ujug
Sabar melalui proses adalah mahar yang yang tak bisa ditawar untuk menjadi penulis produktif. Untuk bisa sampai ke level itu, kata Anshor, tidak bisa dengan jurusujug-ujug (tiba-tiba). Semua butuh tahapan.
Alumni SMA Hidayatullah, Depok, Jawa Barat itu berkisah, bahwa pejalanannya dalam meniti dunia kepenulisan, itu dirintis sejak duduk di bangku SMA. Waktu itu terinspirasi dari salah seorang wartawan di media masa berbahasa Inggris di Ibu Kota yang begitu inspiratif.
Ada kata mutiara yang menyedot perhatiannya; “Barangsiapa menguasai media maka akan menguasai dunia.”
“Ucapan itu menunjukkan bahwa menulis itu sangat penting. Dan, ini soal peradaban dan warisan setelah kita tiada,” terang penulis buku Jorney to Successini.
Geliat menulisnya semakin meningkat, ketika masuk kuliah di STAI Luqman al-Hakim. Terlebih, salah satu mata kuliah yang ada itu masalah kepenulisan. Yaitu Jurnalistik. Semakin terpompalah semangat. Meski untuk itu, ia harus berjuang mengetik di Warnet (Warung Internet) yang cukup jauh dari kampus. Terkadang harus jalan kaki, karena tidak punya sepeda onthel sebagai kendaraan.
“Ngetik di warnet tidak bisa berlama-lama. Sebab, itu sama saja harus merogoh kocek dalam-dalam. Sedangkan duit pas-pasan. Paling nggak cukup untuk ngenet dua jam. Karena itu, saya harus cepat-cepat menulis,” kisahnya.
Ibarata kata pepatah; “Hasil tidak pernah mengkhianati proses.” Itu pula yang dialami Anshor. Suatu hari, ketika ia tengah berkunjung ke kantor, dan membaca-baca koran. Ia dapati tulisannya terbit di rubrik Opini.
“Rasanya bahagia sekali.Bahkan sampai sujud syukur. Bukan saja karena akhirnya jerih payah mengetik tulisan di warnet itu berbuah manis, tetapi juga dapat honor lumayan untuk beli sabun dan mengetik di warnet lagi,” kisahnya.
Sejak itu pula tulisan Anshor acap menghiasi media massa. Produktivitasnya semakin tinggi, ketika ia aktif sebagai wartawan Baitul Maal Hidayatullah, meski masih berstatus sebagai mahasiswa.
Saat ini, selain tetap aktif menulis di berbagai media massa, ia pun produktif menulis buku. Setidaknya, sudah enam karya buku yang ia terbitkan. Di antaranya; Sakinah Menuju Jannah, Lima Mutiara Kehidupan, Perbarui Imanmu, dll. / Khairul Hibri