MENGURAI BENANG KUSUT POLEMIK HARGA MINYAKITA

Kisruh harga Minyakita yang tak kunjung sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) menyisakan pertanyaan besar tentang efektivitas kebijakan distribusi dan tata kelola pangan di Indonesia. Beragam dalih yang dilemparkan pihak terkait, dari relaksasi wajib pungut hingga panjangnya rantai distribusi, hanya menegaskan lemahnya koordinasi antarlembaga dan kurangnya keberanian pemerintah untuk memberantas akar masalah.

1. Kambing Hitam yang Tak Berdasar
Penjelasan Kemendag yang menuding wajib pungut sebagai biang kerok mahalnya Minyakita terasa tidak logis. Wajib pungut hanya berperan dalam pemungutan pajak PPN, yang sejatinya tidak berkaitan langsung dengan panjangnya rantai distribusi. Mengalihkan fokus kepada kebijakan pajak tanpa data empiris memperlihatkan inkonsistensi Kemendag dalam memahami inti persoalan.

Seharusnya, pemerintah memprioritaskan pemangkasan rantai distribusi yang berlapis-lapis. Fakta bahwa minyak goreng rakyat melibatkan banyak perantara menunjukkan celah besar dalam implementasi kebijakan distribusi yang diatur dalam Permendag No. 18 Tahun 2024.

2. Keterbatasan Infrastruktur dan Peran BUMN
Kritik terhadap BUMN Pangan yang dianggap tidak memiliki infrastruktur memadai untuk memotong rantai distribusi juga tidak dapat diabaikan. Sebagai ujung tombak dalam stabilisasi harga kebutuhan pokok, BUMN seharusnya didukung dengan sumber daya yang kuat, baik dalam hal logistik maupun kebijakan operasional.

Gagasan melibatkan PTPN dan Bulog sebagai produsen dan distributor utama Minyakita layak dipertimbangkan. Kedua entitas ini memiliki rekam jejak dalam pengelolaan dan distribusi komoditas bersubsidi. Namun, tanpa insentif yang jelas dan subsidi yang cukup, upaya ini hanya akan menambah beban BUMN tanpa menghasilkan solusi jangka panjang.

3. Akar Masalah: Kebijakan Pasokan yang Tidak Stabil
Pengurangan produksi oleh produsen swasta akibat minimnya insentif mempertegas masalah dalam skema Domestic Market Obligation (DMO). Pemerintah harus menyadari bahwa menjaga stabilitas pasokan minyak goreng rakyat memerlukan pendekatan holistik. Dana pungutan ekspor CPO, yang selama ini dominan dialokasikan untuk subsidi biodiesel, harus dialihkan ke subsidi produksi dan distribusi Minyakita.

Selain itu, reformasi dalam kebijakan pengelolaan dana oleh BPDPKS harus dilakukan. Ketimbang menguntungkan korporasi besar, dana ini seharusnya digunakan untuk memberdayakan petani kecil melalui koperasi, sehingga menciptakan ekosistem produksi minyak goreng yang lebih inklusif.

4. Transparansi dan Konsistensi Kebijakan
Dalam setiap krisis, transparansi adalah kunci. Berbagai alasan yang dilontarkan Kemendag terkesan mencla-mencle, mengaburkan fokus dari solusi konkret. Sebagai pemangku kebijakan, pemerintah harus jujur mengakui kekurangan dan bekerja sama lintas kementerian untuk merumuskan strategi yang berkelanjutan.

Kesimpulan
Masalah Minyakita bukan sekadar soal wajib pungut atau panjangnya rantai distribusi. Ini adalah cerminan dari kompleksitas tata kelola kebijakan pangan yang membutuhkan reformasi mendasar. Pemerintah harus segera memperbaiki koordinasi, meningkatkan efisiensi distribusi, dan memastikan dana yang ada digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, bukan hanya untuk kepentingan segelintir pihak.

Minyakita, sebagai minyak goreng rakyat, seharusnya menjadi simbol keberpihakan pemerintah pada kebutuhan masyarakat kecil. Namun, tanpa solusi yang berpijak pada realitas, Minyakita akan terus menjadi cerita panjang tentang janji yang tak kunjung ditepati.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *