Oleh: Moh. Syahri Sauma
Hampir setahun, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan meluncuran paket kebijakan pendidikan “Merdeka Belajar:Kampus Merdeka” di gedung kantor Kemendikbud (24/1/2020). Sebelumnya pada 11 Desember 2019, Nadiem meluncurkan paket kebijkan pendidikan satuan pendidikan dasar yang diberi nama “Merdeka Belajar” .(tempo.co)
Tahap awal untuk melepas belenggu agar lebih mudah bergerak. Kebijakan ini kelanjutan dari konsep merdeka belajar. Paket kebijakan kampus merdeka menjadi langkah awal dari rangkaian kebijakan untuk perguruan tinggi, kampus merdeka mengusung empat kebijakan dilingkup perguruan tinggi. (kompas.com).
Penulis mencoba menganalisa dari empat kebijakan Kampus Merdeka. Dalam hal ini adalah menyorot plus dan minus kebijakan itu. Mengingat banyak yang menyambut baik dan tidak sedikit pula yang kurang setuju terhadap kebijakan kampus merdeka ala Nadiem Makarim. Terlebih, sudah lebih dari setengah tahun Indonesia dan dunia dilanda pandemic (Covid-19)
Pertama, Sistem Akreditasi Perguruan Tinggi. Jika berbicara tentang Akreditasi tentu orang akan melihat yang namanya mutu sebuah perguruan tinggi. Apabila mendapat akreditasi A pasti dibenak kebanyakan orang adalah pasti perguruan tinggi itu bagus. Akreditasi terdiri dari dua macam, akreditasi institusi dan akreditasi prodi. Akreditasi institusi ditujukan untuk menilai mutu dari institusi, yakni universitas, institute, sekolah tinggi atau akademi dari pergurguruan tinggi tersebut. Sedangkan akreditasi jurusan/prodi ditujukan untuk menilai mutu dari penyelenggaraan pendidikan di jurusan/prodi yang dimaksud secara lebih spesifik.
BAN-PT mencatat terdapat 2.283 perguruan tinggi yang memiliki akreditasi saat ini. Jumlah ini baru sekitar 50% dari jumlah perguruan tinggi di Indonesia (Kemenristedikti: 4.604) dan untuk akreditasi jurusan/prodi tercatat sebanyak 21.411 atau sekitar 75% dari total prodi yang ada (Kemenristekdikti: 28.695).
Jika berbicara akreditasi tentu terdapat peran BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi), dari data kita bisa lihat APT (Akreditasi Perguruan Tinggi) tahun 2018, Terakreditasi A: 85 (4%), B:725 (37%) dan C:1.164 (59%) (Laporan Kinerja BAN-PT 2018).
Kebijakan Kampus Merdeka mengatakan bahwa, program studi baru dapat langsung mengajukan perbaikan Akreditasi setelah memperoleh akreditasi C (Saat didirikan), namun bila gagal mendapat kenaikan akreditasi, prodi baru tersebut harus menunggu 2 tahun sebelum dapat mengajukan perbaikan akreditasi kembali. Dengan payung hukum Permendikbud Nomor 5 tahun 2020 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi
Nilai plusnya, perguruan tinggi semakin serius meningkatkan kualitas tri dharma perguruan tinggi. Bagi prodi yang telah mendapat akreditasi Internasional, Kemendikbud akan langsung diberikan kategori akreditasi A. Sedangkan nilai minusnya kebijakan ini adalah untuk kenaikan akreditasi tidak perlu dibatasi waktu, karena selama ini hampir sebagian besar program studi dan Institusi PT enggan mengajukan re-akreditasi karena faktor biaya, justru dengan waktu 2 tahun sangat merugikan bagi PT yang mau menaikkan mutunya.
Kedua, Hak Belajar Tiga Semester Di Luar Prodi. Kemendikbud memberikan kemerdekaan dan otonomi pada kampus, dengan memberikan kebebasan waktu untuk mengambil sks. Perguruan tinggi wajib memberikan hak bagi mahasiswa untuk sukarela (dapat diambil atau tidak): dapat mengambil sks di luar perguruan tinggi sebanyak 2 semester (setara dengan 40 Sks) dan ditambah lagi, dapat mengambil SKS di prodi yang berbeda di PT yang sama sebanyak 1 semester (setara dengan 20 SKS) dengan kata lain SKS wajib diambil di rodi asal dalah 5 semseter.
Penulis memandang ini adalah sebuah terobosan yang bernilai plus. Karena mahasiswa dapat memiliki kebebasan menentukan rangkaian pembelajaran mereka. Sehingga, terciptanya budaya belajar yang mandiri, lintas disiplin serta mendapat pengetahuan dan pengalaman yang berbeda untuk diterapkan. Dasar hukum perubahan definisi SKS adalah peraturan menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
Dari sisi positif kebijakan kedua ini, sesama perguruan tinggi harus terbuka untuk kolaborasi dan interaksi, maupun pihak ketiga (dunia usaha, dunia industri, organisasi non profit dll). Sedangkan nilai minusnya kebijakan ini adalah jika terjadi satu kelas atau bahkan ratusan mahasiswa ingin mengambil sks di luar perguruan tinggi sebanyak 2 semster di luar kota, sebagai contoh, kuliah awal di Kota Surabaya hingga smster 5 kemudian mengambil dua semester di kampus kota Jogyakarta. Apakah mudah menerapkan kebijakan tersebut? Dan itu mebutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Ketiga, Pembukaan Prodi Baru.Dasar kemudahan pendirian/pembukaan program studi (prodi) bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dengan akreditasi A dan B. Untuk mengikuti arus perubahan dan kebutuhan akan link and match dengan industri, perguruan tinggi harus adaptif. Sebagai payung hukum, Permendikbud No. 7 Tahun 2020 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta.
Nilai lebih atau plusnya adalah banyak perguruan tinggi ingin membuka prodi baru, atau bahkan alih status/perubahan institusi dari sekolah tinggi ke institute atau dari institute ke universitas mudah tidak berbelit-belit, kemudahan itu sangat memudahkan PT yang sudah mengetahui reputasi dalam mengelola PT. Namun, minusnya kebijakan ini, bagi perguruan tinggi papan tengah dan bawah PTS apalagi PTKIS(Perguruan Tinggi Keagaman Islam Swasta) tidaklah mudah. Untuk mendapat nilai akreditasi B saja tidaklah mudah, apalagi nilai A.
Data jumlah usulan pembukaan prodi baru. Tahun 2018, PT di bawah Kemristekdikti, PTN; Diploma:13, S1:25, S2:10, S3:7 dan Profesi: 17. PTS; Diploma:78, S1:237, S2:27, S3:6 dan Profesi:35. PTN-BH; Diploma:0, S1:11, S2:4, S3:2 dan Profesi:1. PT di bawah Kemenag, PTKIN; Diploma:0, S1:94, S2:35, S3:7 dan Profesi:0. PTKIS; Diploma:0, S1:290, S2:15, S3:7 dan Profesi:0.(Laporan Kinerja BAN-PT 2018), dari data tersebut bahwa, permintaan pembukaan prodi baru cukup banyak apalagi program Sarjana satu.
Karenanya, pihak kampus perlu mencari mitra yang dapat berkolaborasi, dalam pembuatan kurikulum, menyediakan praktik kerja (magang) dan penyerapan lapangan kerja dalam bentuk penempatan kerja setelah lulus. Kolaborasi semacam ini yang tidak disukai oleh industri, karena ada kewajiban menyerap tenaga kerja dari lulusan PT tersebut. Selain itu, juga kondisi wilayah geografis serta kondisi riil PTS-PTKIS, kita yang sangat lemah sarana dan prasarana, juga lemah sumber daya manusianya. Terutama PTS-PTKIS yang ada di daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar), dan Indonesia Timur, mereka tidak sama dengan PTS besar dan PTN, PTKIN yang ada di Jawa.
Keempat, Kemudahan menjadi PTN-BH.Bagaimana ketentuan bagi PTN BLU dan Satker untuk menjadi PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum), akan dimudahkan. Pemerintah membantu dengan mempermudah syarat administrasinya tanpa terikat status akreditasi perguruan tinggi tersebut.
Dari data (ristekdikti.go.id). Ada11 PTN-BH yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Ada 24 PTN-BLU yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Ada sekitar 86 PTN Satker diantaranya: 35 PTN Baru yang pengakatan SDMnya diatur dalam Perpres no.10 Tahun 2016 merujuk pada UU no. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan 3 Akademi Komunitas.
Penulis berpendapat silahkan semua PTN-PTKIN mengejar World Class University dengan terus ditambah anggarannya, tetapi konsen pada kualitas, dengan menaikkan mahasiswa S1 yang berasal dari luar negeri dan menambah banyak mahasiswa baru S2 dan S3 dalam dan luar negeri.
Serahkan sepenuhnya kenaikan APK (Angka Partisipasi Kasar) pada perguruan tinggi swasta dengan biaya murah dan PTS-PTKIS tidak perlu dibantu pemerintah maka dengan sendirinya PTS-PTKIS akan jauh lebih sehat dan PTN-PTKIN tidak menjadi pukat harimau menerima mahasiswa baru segala musim dan tidak mengenal gelombang. Dengan demikian Kemendikbud bisa membuat kebijakan syarat minimal dan maksimal PT menampung mahasiswa.
Dari kebijakan kampus merdeka:Merdeka belajar. Menurut penulis, sebenarnya yang sangat vital adalah penguatan SDM dalam hal ini adalah guru dan dosen, ditengah masa disrupsi dan revolusi industry 4.0 serta pandemi. Mengapa? Yang dibutuhkan adalah transformasi nyata, guru dan dosen sebagai ujung tombak dari pembangunan pendidikan yang lebih baik, pemerataan kualitas guru dan dosen harus menjadi prioritas utama.
Karenanya, semestinya dosen sebagai penggerak utama dalam proses perkuliahan. Indonesia yang mempunyai bonus demografi, kemudian menguatkan kebijakan dengan standarisasi dosen dengan kualifikasi Doktor. Data Dosen dengan kualifikasi S3 (Doktor), tidak lebih dari 3% (986) usia dibawah umur 26-35 tahun, 6.651 dosen S3 yang berumur 36-45tahun, 13.829 dosen S3 yang 46-55 tahun, 9.799 dosen S3 yang berumur 56-65 tahun dan 1.855 dosen S3 yang berumur diatas 65 tahun (Buku Statistik PT:2017). Mari, ambil peluang merdeka belajar dengan bersungguh-sungguh belajar.
*Kaprodi Komunikasi dan Penyiaran Islam STAI Luqman Al Hakim Surabaya.