Hallo STAIL
(031) 5992062
info@stail.ac.id
STAILSTAIL
    • Home
    • Profile
      • Sambutan Ketua
      • Sejarah
      • Visi & Misi
      • Struktur Organisasi
      • Sarana dan Prasarana
    • Akademik
      • Prodi MPI
      • Prodi KPI
      • Prodi EkSya
      • Prodi PGMI
    • Pengkaderan
      • Kemahasiswaan
      • Kepengasuhan
      • BEM
      • Alumni
    • Kelembagaan
      • LP2M
      • El Hakim Press
    • Berita
      • Berita Kampus
      • Berita Alumni
      • Berita Akademik
      • Berita Pengaderan
      • Artikel Dosen
    • Informasi
      • Pengumuman
      • Kalender Akademik
      • Jadwal KKN
    • Home
    • Profile
      • Sambutan Ketua
      • Sejarah
      • Visi & Misi
      • Struktur Organisasi
      • Sarana dan Prasarana
    • Akademik
      • Prodi MPI
      • Prodi KPI
      • Prodi EkSya
      • Prodi PGMI
    • Pengkaderan
      • Kemahasiswaan
      • Kepengasuhan
      • BEM
      • Alumni
    • Kelembagaan
      • LP2M
      • El Hakim Press
    • Berita
      • Berita Kampus
      • Berita Alumni
      • Berita Akademik
      • Berita Pengaderan
      • Artikel Dosen
    • Informasi
      • Pengumuman
      • Kalender Akademik
      • Jadwal KKN

    Karya Mahasiswa

    • Home
    • Blog
    • Karya Mahasiswa
    • Musibah Itu Menjadi Wasilah Terapi Hatiku

    Musibah Itu Menjadi Wasilah Terapi Hatiku

    • Posted by Team Web STAIL
    • Categories Karya Mahasiswa
    • Date November 16, 2021
    • Comments 0 comment
    Senyum

    Oleh: Nurul Huda*

    Braakkk!!!!

    Benturan keraspun tidak dapat kuelakkan, ketika sebuah sepeda motor berlawanan arah, dengan kecepatan tinggi tiba-tiba ingin mendahului mobil di depannya, seraya mengambil bahu jalan sebelah, dimana aku tengah mengendarai kuda besiku. Akupun terpental jauh dari sepeda motor yang kukendarai.

    Kejadian itu berlangsung sangat cepat, sampai-sampai aku sendiri tidak sadar kalau sudah tertelungkup di pinggir jalan.

    Beruntungnya banyak orang yang datang menolongku pada saat kecelakaan terjadi. Kulihat motor kesayanganku dalam keadaan hancur total bagian depan dan sampingnya.

    Tabrakan Motor

    Antara setengah sadar, aku berusaha mencari telepon genggam yang biasanya ada di kantong jaket yang kupakai, dengan maksud untuk menghubungi keluarga guna meminta untuk dijemput.

    Namun setelah meraba-raba kantong aku tak mendapati kedua telpon genggamku. Kepanikanpun menggelayuti diri. Tidak berapa lama setelah aku cari-cari, alhamdulillah, akhirnya aku temukan telpon genggamku di tempat aku terjatuh tadi.

    Di saat orang-orang masih ramai mengerubutiku, akupun berusaha mencari tahu siapa orang yang menabrakku tadi. Singkat cerita, selidik punya selidik. Terungkaplah identitasnya. Sebutlah namanya Fulan. Berstatus mahasiswa di salah satu Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan di kota Surabaya. Akupun berusaha meminta pertanggungjawaban kepada dia. Sebab karena keteledorannya dalam berkendara, dengan melanggar peraturan lalu lintas, menyebabkan terjadinya kecelakaan.

    Semula Aku masih santai saja meminta pertanggungjawaban. Berupaya berbicara dengan baik-baik kepadanya, agar masalah ini bisa diselesaikan dengan kekeluargaan.

    Namun apa mau dikata. Si Fulan malah berperilaku sebaliknya. Cuek-bebek. Malah berlagak merasa tidak bersalah. Tak ayal, sikap tersebut memantik tensiku menjadi jadi naik. Saking kesalnya dengan sikap tak acuhnya, hampir-hampir Aku pukulkan helm di tangan kanan ke arah tubuhnya.

    Situasi mulai memanas. Orang-orang sekitar juga riuh. Keadaan mulai tak kondusif.

    “Lapor polisi saja mas! Kami saksinya kalau kamu tidak salah dalam posisi ini.”, usul dari salah seorang saksi.

    Sungguh itu usul yang tepat. Tapi untuk menerimanya, aku pun agak keder juga, mengingat pajak motor yang kupakai sudah mati satu tahun. Bukannya tidak mau membayar pajak, tapi cabut berkas STNK kendaraan ini agak susah saat itu. Karena motor itu aslinya aku beli dari daerah tangerang Banten.

    Untuk mengakhiri polemik saat itu, akhirnya Aku minta surat-surat kendaraan yang dia pakai. Ternyata dia tidak bawa dengan alasan motor itu dia pinjam dari temannya. Akupun kembali tersulut emosi.

    “Sudah tahu motor pinjam naiknya tidak pakai aturan lagi,” pekikku kepadanya.

    “Kalau begitu mana SIM yang kamu pakai, serahkan ke saya” pintaku.

    Akhirnya SIM C miliknya aku bawa dan aku tinggalkan nomer telpon genggamku kepadanya.

    “Pokoknya bagaimanapun caranya, saya minta motor ini di perbaiki dan kembali seperti semula,” tegasku kepada Fulan.

    Poinnya, Aku hanya meminta pertanggungjawaban atas kesembronoannya. Memeprbaiki sepeda motor seperti sedia kala. Itu saja. Tak lama setelah mengambil SIM-nya, Aku pun beranjak pergi meninggalkan lokasi kecelakaan.

    Sesampainya di rumah rasanya ada yang aneh dengan kakiku yang sebelah kanan. Terasa sangat berat untuk kupakai melangkah. Setelah kuperiksa ternyata sepatu yang kupakai sudah robek parah.

    Begitu sepatu kubuka kudapati kakiku sudah sangat bengkak. Sykurnya posisi sudah berada di rumah. Tak ingin terjadi hal lebih buruk, akupun diantar oleh istri tercinta ke salah satu pijat alternatif di desa sebelah.

    Ketika sampai di tempat praktek orang itu, kakiku sudah sangat susah untuk digerakkan. Di bantu sama istri Aku pun berjalan dengan susah payah agar bisa sampai ke ruang praktek pijat.

    Suatu kesyukuran. Sungguh di luar dugaan. Hari itu tempat praktik yg biasanya berjubel pasien mengantri, dalam keadaan kosong. Jadi Aku segera mendapatkan penanganan lebih cepat. Ketika bapak yang menangani keadaanku saat itu meminta menaikkan kakiku ke atas meja kecil yang diletakkan tepat di depan tempat dudukku.

    Begitu aku mencoba mengangkat kaki kanan yang bengkak tadi,

    “Subhanallah!!!”

    Sakitnya luar biasa. Aku tidak bisa menaikkan kaki itu ke meja, padahal tidak seberapa tinggi.
    Akhirnya Aku dibantu oleh sang pemijat. Kakiku dinaikkan ke meja kecil.

    Bapak itupun mengambil kursi pendek dan duduk tepat di depanku. Kemudian dia meraih kaki kananku dan diletakkannya di atas pahanya. Begitu kakiku diraih dan digerakkan, lagi-lagi kurasakan sakit yang luar biasa.

    Bapak itu sepertinya melihat ekspresi wajahku yang kesakitan, makanya dia menghentikan gerakan kakiku sebentar. Setelah dirasa agak berkurang rasa sakit yang kurasakan, bapak itu mulai meletakkan tangan kanannya di atas kakiku yang bengkak tadi. Aku tidak tahu apa yg dibaca oleh bapak itu. Kulihat bibirnya bergerak seperti sedang melafadzkan sesuatu. Entah itu doa atau apa? Aku tidak faham.

    Tangannya mulai bergerak menekan beberapa titik di tempat yang bengka. Setelah dirasa bisa memastikan sesuatu, bapak itu mulai memijit beberapa tempat di kakiku. Pertama kurasakan sakit yg luar biasa, tapi lama kelamaan rasa sakit itu sedikit demi sedikit agak berkurang. Tapi posisi bengkak yg ada di kakiku masih tetap sama.

    Singkat cerita setelah selesai proses penanganan itu, akupun pulang dengan rasa sakit yg sangat berkurang jauh daripada saat pertama kali datang.

    Bapak itu berpesan; “ nanti kalau sampai di rumah balurkan minyak ini,” sembari beliau menyerahkan satu botol kecil minyak gosok.

    “Dan jangan lupa supaya nanti kakinya harus dalam keadaan lebih tinggi dan jangan menggantung” pesannya kembali.

    Sesampai di rumah akupun langsung di minta istirahat oleh istri. Disiapkannya tempat tidur untuk istirahat.

    Keesokan harinya aku bangun untuk sholat dan kurasakan bengkak di kaki sedikit kempes, meski masih terasa nyeri. Setelah selesai sholat seperti biasa aku ke ruang depan mengambil al Qur’an untuk dibaca.

    Di saat itulah, aku melihat kembali keadaan motorku si ruang depad. Ternyata kerusakannya jauh lebih parah dari yg aku perhatikan saat di tempat kejadian.

    Pikiranku langsung teringat pada anak yg menabrakku kemarin. Kuambil dompetku dan kucari SIM yang aku minta kemarin. Secara tetiba ingatanku kembali kepada tragedi itu. Tentang bagaimana respon si pemuda yang acuh. Semua tergambar jelas. Dada terasa sesak. Emosi menguasai.

    Terlebih ketika melihat foto di SIM tersebut. Amarah membuncah. Kesalnya luar biasa. Sampai-sampai al Qur’an yag dari tadi kupegang tidak jadi aku baca.

    Beberapa hari setelah itu aku ijin tidak masuk bekerja, karena memang kondisi tidak memungkinkan, sembari menunggu telpon dari si penabrakku dengan maksud menunggu pertanggungjawabannya untuk memperbaiki motor.

    Tetapi sampai aku bisa bekerja kembali, si penabrak itu tidak ada sedikitpun niat untuk menghubungiku. Di lainMerenung sisi. Di setiap kulihat motorku yg ringsek, foto dan SIM-nya aku semakin emosi saja.

    Karena tak ada perkembangan, akhirnya kuputuskan untuk memperbaiki sendiri. Aku catat beberapa sparepart yang dibutuhkan. Setelah itu segera kubawa ke bengkel resmi terdekat unruk diperbaiki.

    Dua hari berselang, motor pun jadi, meski masih kelihatan beberapa bekas kecelakaan. “Alhamdulillah urusan motor selesai” gumanku dalam hati.

    Berlanjut ke masalah yang ke dua yaitu nasib SIM yang kubawa.

    Karena emosiku selalu terusik dan merasa jengkel setiap kali melihat SIM penabrakku itu. Ada bisikan kuat yang kurasakan dalam hati untuk mengembalikan SIM itu dan memaafkan si pelaku. Akupun merenung;

    “Untuk apa Aku simpan SIM ini, kalau bawaannya merusak hati,” bisik batinku.

    Yah. Memang itulah keadaannya. Setiap kali kulihat SIM itu perasaaaku selalu jengkel dan emosiku terus naik.

    “Jangan kotori hatimu dengan kejengkelan”.

    Setelah beberapa hari Aku pun tekatkan untuk menelpon si penabrakku itu. Aku minta dia mengambil SIM-nya.

    Siang itu dia datang ke tempatku bekerja, tanpa menunggu lama akupun memberikan SIM nya kembali kepadanya dan diapun segera pergi kembali.

    Semulanya hati kembali sempat terpancing. Betapa tidak. Sudah dperbaiki demikian, ia pun masih belum menunjukkan gelagat nan baik. Sekedar bilang; ‘Terima kasih’ saja tidak. Langsung saja pergi.

    Alhamdulillahnya, Allah masih menuntunku untuk bisa bersabar dan tidak memendam rasa jengkel. Akupun menarik nafas cukup panjang saat itu.

    Dan “Bismillah aku serahkan semua ini kepadamu ya Allah” bisikku dihati.

    Sejak saat itu akupun berusaha melupakan kejadian yang sangat tidak mengenakkan, tetapi memberikan banyak pelajaran yang sangat berharga buatku.

    Pelajaran yang kuambil; sesungguhnya segala seuatu yang lebih mendahulukan sisi emosi, maka ketidaktenangan pasti akan kita dapatkan. Tetapi ketika kita lebih mendengarkan suara hati nurani, maka InsyaAllah ketenangan akan kita dapatkan. Wallahu A’lam bishowab.

    *Mahasiswa STAIL Semester III Prodi MPI

    Tag:Kisah Nyata, Musibah, STAI Luqman al Hakim

    • Share:
    Team Web STAIL
    Situs resmi Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman al Hakim (STAIL) Surabaya

    Previous post

    Berdoa Menjadi Penghafal al-Qur'an, Diganjar Allah dengan Sesuatu di Luar Dugaan
    November 16, 2021

    Next post

    Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) STAIL Sambangi Kantor Majalah Suara Hidayatullah, Ini Pesan Redaktur Senior
    November 18, 2021

    You may also like

    Mahasiswa STAIL Safari Ke Masjid Bersejarah
    Catatan Safari Dakwah Mahasiswa Semester III KPI STAIL
    30 December, 2021
    Muslim Bahagia
    Indikator Bahagia Seorang Muslim
    23 December, 2021
    Perlukah Komunikasi Dipelajari?
    Perlukah Komunikasi Dipelajari?
    29 November, 2021

    Leave A Reply Cancel reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    Search

    Kategori Informasi

    • Artikel Dosen
    • Berita Akademik
    • Berita Alumni
    • Berita Kampus
    • Berita Pengaderan
    • Karya Mahasiswa
    • Kiprah
    • Opini
    • Pengumuman
    • Uncategorized

    Informasi Terbaru

    Dua Mahasiswa MQL Putra Menjadi Imam di Luar Negeri
    23Mar2023
    150 Santri Pesantren Tahfidz Darul Ulum, Banyuanyar, Kunjungi STAIL
    17Mar2023
    Ikuti Pameran UMKM kreatif Jatim, Produk Dinar Store Dikagumi Pengunjung
    14Mar2023

    Copyright. STAIL Surabaya 2019 | All Right Reserved.

    • Privacy
    • Terms
    • Sitemap