Yusuf Sunarko, Menjadi Lentera di Halmahera Utara
Jauh dari bayangan Yusuf Sunarko. Bahwa, ia akan diterjunkan bebas seorang diri, merintis dakwah di Maba, Halmahera Timur, Maluku Utara. Daerah yang sangat asing baginya, baik itu secara struktur sosiologis, maupun geografisnya. Karena ia sendiri berasal dari Malang, Jawa Timur. Dan belum pernah merantau di pulau seberang.
Tak ayal. Mulanya ia sempat dilanda kebingungan untuk memulai langkah dakwah. Maklum. Jangankan lahan untuk membangun pesantren. Sekedar tempat tinggalpun, ia mengontrak di salah satu rumah milik warga.
Di tengah kekalutan memikirkan strategi gerakan. Ia pun terlilit persoalan pribadi. Tidak ada pemasukan. Jadilah ustadz Yusuf, panggilan akrabnya, mengonsumsi apa saja yang tersedia di rumah kontrakan. Yang penting perut terganjal.
“Sering juga tidak makan,” kisahnya.
Meski demikian kondisi yang dialami. Laki-laki ramah ini tidak ingin mengalah dengan keadaan. Ia tetap berupaya berjuang, menjalankan amanah dakwah yang telah dipikulkan di pundaknya, sejak dibacakannya Surat Keputusan (SK) Penugasan, dari STAI Luqman al-Hakim, Surabaya, tahun 2010 silam.
Maka mulaillah Yusuf melakukan kunjungan ke rumah-rumah warga. Targetnya adalah anak-anak. Ia ingin mendirikan Taman Pembelajaran al-Qur’an (TPQ). Alhamdulillah, beberapa warga merespon positif. Mereka mempercayakan pendidikan kepadanya. Tapi lambat laun, ia merasakan ada keganjalan.
“Sekian lama berjalan, saya menilai perkembangan dakwah lambat sekali. Keterlibatan masyarakat pasif. Murid-murid justru berkurang,” ujarnya.
Yang nampak malah ada kesan ‘menjaga jarak’ dari. Tidak ingin terus berlanjut, akhirnya ia mencoba melakukan penyelidikan. Bertanya kepada kepada warga atau pendatang yang sudah akrab dengannya. Ketemulah persoalannya.
Tenyata itu dilatarbelakangi oleh kekhawatiran, kalau para pendatang akan menguasai orang-orang pribumi. Agar tak menimbulkan kecurigaan, pria bertubuh ramping ini sangat berhati-hati melangkah dalam mensosialisaikan tugasnya kepada masyarakat.
Sebagai langkah awal untuk memecah kebekuan, kembali silaturrahim digalakkan. Rumah-rumah didatangi. Masjid-masjid dikunjungi. Tidak hanya itu. Pihak pemerintah (Wakil bupati) juga ditandangi.
“Pihak pemerintah saat itu sangat mendukung gerakan kita. Dan siap menjalin kerja sama,” kata Yusuf.
Tapi, tidak demikian dengan masyarakat. Mereka masih belum menunjukkan adanya perubahan sikap. Meski telah beberapa kali bersilaturrahim, dan berusaha menjelaskan dengan jujur maksud dari kedatangannya, hanya dua-tiga warga saja yang berkenan menerima.
Sadar langkahnya kurang efektif, ide cemerlangpun muncul dibenak Yusuf. “Kalau respon masyarakat kurang baik terhadapa pendatang, berarti saya harus mampu mengajak salah satu warga sekitar untuk bersama berjuang di medan dakwah”, pikirnya.
Maka mulailah Yusuf mencari sosok pejuang yang siap ‘dipinang’. Tapi apa boleh buat. Mencari teman dakwah saat itu, bak mencari jarum di tumpukan jerami. Setiap kali mengajak, sebanyak itu pula mendapat penolakan. Dan kondisi ini terus berlanjut hingga memasuki bulan ke delapan.
“Sulit sekali menemukan kawan berjuang. Karena itu, berbulan-bulan perkembangan dakwah berjalan di tempat. Saya hanya mengajar segelintir anak di kontrakan”, ungkapnya.
Dalam menghadapi kondisi yang demikian, laki-laki asli Malang ini mengaku do’alah yang menjadi senjata utamanya untuk meminta pertolongan Allah. Setiap selesai sujud, ia terus memohon agar Allah meringankan tugas yang tengah diembannya. Harapan agar mendapat teman berjuang dari anak pribumi juga terus ia munajatkan kepada Allah.
Allah Maha Pengabul doa, akhirnya mengijabah doa Yusuf. Entah mendapat informasi dari mana, suatu hari datang kepadanya salah seorang pemuda dari desa seberang yang mengutarakan minatnya untuk berjuang bersama-sama. Mendapati permintaan itu, Yusuf sangat girang dan bersyukur atas terijabahnya do’a.
“Kejadian itu merupakan salah satu pengalaman rohani yang tak terlupakan. Saya sangat tidak menyangka Allah mengijabah permintaan saya, agar diberi teman berjuang dari orang pribumi”, jelasnya dengan nada penuh haru.
Dan benar saja, lambat laun, sejak kedatangan teman barunya itu, warga mulai menyambut seruan Yusuf. Dengan berbondong-bondong mereka mendaftarkan putra-putri mereka belajar mengaji Al-Qur’an di tempat kediamannya. Karena semakin hari semakin banyak, akhirnya tempat tinggalnya tidak lagi memumpuni.
Yusuf dan kawannya pun menghadap wakil bupati, untuk turun tangan mengembangkan pendidikan al-Qur’an yang mereka rintis. Alhamdulillah beliau sanggup mengulurkan bantuan berupa tiga lokal ruangan untuk digunakan tempat mengaji. Ratusan anak-anak telah mengaji di tempat ini.
Semakin Pesat
Sukses mendirikan TPQ, timbul asa untuk merintis sekolah Islam. Maka mulailah dirintis. Ternyata, anemo masyarakat pun sangat tinggi. Muridnya sudah mencapai 230-an. Yang menarik, bukan hanya fisik dan jumlah murid yang mengalami kemajuan. Secara kualitas, juga cukup cemerlang. Terbukti tidak sedikit anak dari pejabat setempat yang mempercayakan pendidikan anak-anak mereka di lembaga rintisannya.
Memasuki tahun ke sepuluh ini. Selain TPQ, MI, dan pondok putri, juga tengah dirancang pendirian pondok putra. Untuk sementara, karena belum ada tempat, hanya putri yang berasrama. Sedangkan putra kembali pulang ke rumah masing-masing.
“Minta doa dan dukungannya. Insya Allah ini tengah merintis pondok pesantren putra”, tutupnya. Semoga sukses, ustadz! Amiin. (Robinsah)